Sabtu, 22 Januari 2011

MAKNA DI BALIK SIMBOL KEMAB-SBB

Catatan Mubes III (hari ke-3, 2 Januari 2010)

Nenek moyang kita adalah pelaut. Ketangguhannya teruji di tengah samudera. Bayang-bayang ‘kejayaan’ itu tidak pernah pupus termakan oleh sang waktu. Namun, apakah lakon kehidupan itu kini harus kita lanjutkan lagi, sehingga citera kebaharian itu tetap abadi?. Kebanyakan generasi muda Buton menjawab, Tidak!. Lalu apakah citera itu harus berakhir sampai di sini?. Jawabnya, juga tentu Tidak!. Lalu apa yang harus dilakukan?. Tetap melanjutkan tradisi, seperti halnya dahulu nenek moyangnya, atau mengaktualkanya di dalam konteks kekinian? (Abd. Rahman Hamid, Januari 2010)

Dalam penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dan karena itu, manusia, sebagai khalifah di muka bumi, diberikan akal untuk berfikir. Itu pertanda bahwa hanya dengan akal fikiran kita dapat mengetahui makna di balik semua ciptaan Tuhan.


Demikianlah, dalam menyaksikan simbol KEMAB SBB kita juga harus menggunakan akal fikiran sehingga apa yang terukir/tertulis di baliknya dipahami maknanya. ‘Dunia’ yang kini diarungi oleh generasi muda Buton di Kota Daeng adalah dunia ilmu pengetahuan. Di samping usaha (belajar) untuk menatap masa depan yang cerah lewat ‘rimba’ ilmu pengetahuan, mereka pun tetap mempertahankan citera budayanya, sebagai generasi pelanjut, yang terlahir dari ‘rahim’ moyangnya sebagai pelaut.

Citera itu tidak lagi dilakoni dengan menjadi pelaut di era modern, namun hal itu diterjemahkan kembali di dalam ‘arena’ baru darai lakon kehidupan mereka hari ini, sebagai pelajar. Ini merupakan manifestasi keinginan dari generasi baru yang senantiasa menjaga citera budayanya di tengah galau kehidupan global yang cenderung menggeneralisasi budaya dalam satu ranah kecil yang disebut Globalisasi. Atas dasar itulah, wadah kerukunan mahasiswa Buton di Kota Anging Mamiri mengusung sebuah harapan besar di masa mendatang – peradaban – yang dibingkai dengan semangat bahari (dari leluhurnya).

Dunia bahari itu tercermin pada simbol-simbol yang diketengahkan, seperti perahu, ruang samudera (laut), dan prinsip nilai-nilai bahari. Perahu, dalam kancah tradisi Buton, merupakan sarana transportasi yang digunakan dalam komunikasi sosial, ekonomi dan politik sejak dahulu. Eksistensi mereka di berbagai belahan bumi Indonesia dewasa ini terkait erat dengan warisan tradisi pelayaran dan perdagangan maritim dalam rangka komunikasinya. Secara politik, Buton merupakan sebuah kerajaan yang bercorak maritim. Asosiasi simbolik yang tercermin dari praktek politik dan pemerintahannya berkait erat dengan ‘dunia’ perahu, dan karenanya disebut pula “Negara Barata”.

Prinsip nilai-nilai bahari yang diajukan – untuk logo atau semacam slogan utama – yaitu Poasaasa – pohambahamba, Sabangka Asarope. Kalimat tersebut mengemuka saat diskusi peserta Mubes III, pada pukul 15.00 – 15.30 WITA, ihwal tulisan yang akan dicantumkan pada bendera dan atribut organisasi lainnya. Kalimat tersebut terdiri dari dua suku kata yang saling berkaitan: Poasaasa – pohambahamba dan Sa’bangka – Asarope. Jika diartikan, kata Poasaasa = bersama-sama; Pohambahamba = saling membantu atau tolong menolong. Bila arti umumnya dikaitkan dengan azas kehidupan berbangsa dan bernegara (Indonesia) maka hal itu mencerminkan perilaku sosial Gotong-Royong. Maksudnya, bahwa dalam melakoni kehidupan di negeri rantau, orang Buton (mahasiswa) senantiasa tolong-menolong atau bergotong-royong dalam melakukan suatu pekerjaan dan semacamnya. Sikap hidup yang demikian dikuatkan sebagaimana tercermin pada makna kata kedua yakni Sa’bangka – Asarope. Secara terminologi, arti kata sa = satu dan Bangka [atau wangka] = perahu; dan kata A[sa] = satu atau sesuatu (huruf A menegaskan sesuatu/sebuah kata di depannya, sa) dan rope = haluan atau depan atau masa depan. Dengan demikian, kalimat kedua ini dapat dipahami sebagai bersama dalam satu wadah (sa’bangka) untuk mencapai satu tujuan atau masa depan, atau dengan kata lain adalah ‘kesuksesan’.

Secara umum, kedua kalimat tersebut menjelaskan, bahwa di dalam melakoni kehidupan di Kota Makassar, sikap saling tolong-menolong senantiasa dikedepankan oleh mahasiswa Buton dalam rangka menata – sekarang – kehidupan yang lebih baik (kesuksesan) di masa yang akan datang. Harapan besar itu diukir dengan indah lewat kalimat “mengarungi samudera ilmu, mengukir kesuksesan”. Dalam upaya mencapai hal itu, sikap ilmiah yang harus dilakukan, meminjam kalimat Rene Derscartes (cogito ergo sum), adalah “Aku berfikir maka Aku Ada”.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Enterprise Project Management